NOVEL ONLINE SATU DEKADE Episode 8


Bertemu Ayahnya

Sebenarnya sebelum genap seratus hari ayahnya meninggal aku sempat berziarah ke pusara ayahnya, aku tidak begitu ingat hari dan tanggal tepatnya peristiwa itu, yang masih bisa ku ingat hanyalah aku berziarah ke makam almarhum ayahnya pada waktu siang hari, sekitar pukul satu siang. 

Aku memang sengaja memilih waktu siang hari tersebut karena aku beranggapan bahwa pukul satu siang adalah saat dimana kebanyakan orang desa beristirahat di rumah entah itu makan siang, tidur siang, menunaikan sholat dhuhur, ataupun sekedar berteduh menyelamatkan diri dari sengatan terik matahari, jadi kemungkinan besar kehadiranku tak ada yang mengetahui, selain dua orang temanku, satu orang yang menemaniku ke makam dan satu orang lagi yang mengetahui karena memang aku bercerita bahwa aku akan pergi berziarah ke makam seseorang siang ini.

Lokasi pemakaman memang tak jauh sih dari rumah dimana dia tinggal, palingan hanya berjarak sekitar seratus meteran dari rumahnya, dan sekilas memang aku dapat memandangi rumahnya dari area pemakaman, walaupun rumahnya tak tampak begitu jelas. Aku tak menghabiskan waktu begitu lama di pemakaman, sekitar waktu yang cukup untuk membaca tahlil serta membacakan doa-doa, aku sempat juga menaburkan bunga setaman yang telah ku siapkan sebelumnya.

Aku terduduk disamping pusara itu, sebuah pemandangan yang menggetarkan hati ini, aku masih sangat ingat momen-momen itu, isak tangisnya saat ayahnya meninggal kala itu, wajahnya yang sembap dengan kedua mata yang layu setelah menangis, dan aliran air mata yang mengering di kedua pipinya. 

Bisa kulihat ada dari raut wajahnya, disana ada begitu banyak emosi yang tak bisa disampaikan hanya dengan rangakaian kata-kata, hanyalah air mata yang tumpah yang mampu menggambarkan apa yang dia rasakan saat itu.

Di depanku kini, terlihat gundukan tanah liat baru dengan warna yang masih sedikit basah serta dua nisan dengan tulisan nama almarhum ayahnya di salah satunya. Terlihat juga masih ada taburan bunga lama yang sudah kering berwarna kehitaman menutupi sebagian kecil atas pusara itu. 

Aku menaburkan bunga baru diatasnya, tercium aroma semerbak khas bunga setaman, ada kelopak mawar, bunga kenanga, irisan daun pandan dan campuran lain yang aku tak begitu paham apa itu. Namun bau harum yang muncul dari taburan bunga itu sangat pekat, dan aku bisa mencium aroma nya. 

Sebelumnya, aku memang tak sempat bertemu langsung dengan almarhum ayahnya, bertatap muka atau berbicara apalagi, mungkin inilah caraku menyapa beliau, berdoa dan mendatangi pusaranya. Semoga saja almarhum diberikan tempat terbaik disisi Tuhan yang maha Esa.

Aku berjalan selangkah demi selangkah semakin jauh dari pusara, menuju arah pintu keluar area pemakaman yang menurutku, mungkin sudah ada ratusan jenazah yang dimakamkan disini, areanya memang cukup luas, dan tepat dibagian tengah area pemakaman berdiri kokoh pohon besar dengan daunnya yang lebat dan rimbun, mungkin dua atau tiga dekapan orang dewasa baru cukup untuk mendekap diameter batang pohon ini, aku tak tahu ini jenis pohon apa, tapi dari sela-sela ranting dan batang menjuntai akar udara yang panjang kebawah, memang sepintas mirip sekali dengan pohon beringin, tapi daunnya nampak berbeda dengan pohon beringin, daun pohon ini punya ukuran yang lebih kecil.

Ah, entahlah... memandang sejenak pohon itu membuat nyaliku sedikit menciut, ukurannya yang besar seakan menyimpan banyak misteri tentang tempat ini, pohon ini tentu menjadi saksi berapa banyak yang sudah dimakamkan disini. Ia berdiri kokoh dan menjulang tinggi seolah bertugas menjaga dan mengawasi setiap jengkal tanah di pemakaman ini. Tak ada yang terlewatkan sedikitpun dari pengawasannya.

Aku segera bergegas menuju ke pintu keluar dan meninggalkan area pemakaman, aku hanya khawatir kalau ada yang memergoki diriku tengah berada di area pemakaman ini, terlebih lagi jika kebetulan dia juga berziarah ke makam almarhum ayahnya, dan aku masih ada di area makam, aku bisa mati kutu, dan tak tahu harus berkata apa. 

Untungnya di area makam tak ada seorangpun selain aku dan seorang teman yang ku ajak kesini, sepanjang jalan menuju makam juga lenggang, baru ketika sampai jalan besar ada kendaraan lain yang kutemui. Jadi kemungkinan  besar tidak ada yang mengetahui, kalau sebenarnya aku ke makam almarhum ayahnya barusan. Ziarah makam berjalan lancar, dan aku pulang dengan perasaan sedikit lega, setelah bisa mengunjungi pusara almarhum ayahnya sekali lagi.

Yang ku pikirkan saat itu hanyalah, apakah benar aku adalah orang yang tepat untuknya, apakah benar bahwa perasaan sang Ibu memang lebih peka meraba perasaan dan masa depan anaknya.

Langkahku yang masih payah dan gontai membuatku harus menerima semua kemungkinan yang terjadi, apapun itu. Tak ada yang namanya mengeluh ataupun menyesali semua ini, karena memang hidup punya banyak warna, tak selamanya putih, tak selamanya merah, kadang berwarna abu-abu, bahkan kadang hitam kelam, semua itu pasti akan ada dan menghiasi lembaran kehidupan, siap ataupun tidak siap harus tetap dihadapi.

Aku sangat terkesan dengan puisi dari Sapardi Djoko Damono yang berjudul Hujan di Bulan Juni, cobalah baca puisinya dan nikmati setiap kata yang ada, maka sedikit banyak kau akan menemukan gambaran perasaan cinta yang kurasakan selama ini.

Hujan Bulan Juni

" tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif 
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu "

Ya, aku tidak ingin munafik dan aku mengakui bahwa sebenarnya aku juga sangat ingin bisa bersamanya. Mengingat sudah sepuluh tahun ini aku memendam perasaan ini sendirian tanpa sanggup mengungkapkan, dan tentunya apa yang pernah ibunya katakan adalah sebuah pintu yang terbuka untukku saat itu. Namun, untuk sekarang tentu semua itu hanya tinggal sebuah kenangan masa lalu, karena sebagai seorang laki-laki yang punya harga diri, dan menjunjung kehormatan. Pantang untuk mendekati atau mengharap perasaan cinta dari perempuan yang sedang bersuami. Setidaknya aku punya nilai yang harus kupegang teguh, dan memang sudah sepatutnya aku menghargai cinta mereka.

Aku ingin meresapi pula sebuah puisi yang juga disusun oleh Sapardi Djoko Damono, sebuah puisi yang menurutku mampu menyentuh rasa hatiku ketika mengagumi seseorang seperti dia yang ku kenal selama SATU DEKADE INI,

Untukmu yang sekarang berbahagia dengan kehidupan indahmu sekarang, aku ingin sekali menyampaikan puisi ini dulu, tapi apalah dayaku, tak sanggu ku rengkuh manis madu itu, betapapun aku ingin atasnya.

Aku Ingin

“Aku ingin mencintaimu 
dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat 
diucapkan kayu kepada api 
yang menjadikannya abu,

Aku ingin mencintaimu 
dengan sederhana,
dengan isyarat yang tak sempat
disampaikan awan kepada hujan 
yang menjadikannya tiada”

Ya, dengan cara yang sederhana, sebuah perasaan yang tak harus kau balas dengan perasaan yang sama, biarkan aku merengkuh dan menikmati setiap momen selama ini, meskipun akhirnya aku hanya bisa mengagumi.


Komentar