Anak Kampung Kumuh Bagian 1 | Novel Online


Anak Derita,

Panggil saja Arifin, dia bukan satu-satunya anak yang tidak diselimuti uang dan kekayaan di kampung ini, Kebon Hulu, dia hanyalah salah satu anak miskin dari keluarga yang jauh dari berkecukupan. Jangankan beli sepatu dan buku, ataupun bersekolah, beli beras dan kerupuk saja sudahlah jadi kemewahan saat makan. Apalagi tak jarang pula, satu hari makan satu hari lagi tak tentu bisa memperoleh sesuap makan untuk perutnya yang terus meneriakkan kelaparan. Kasihan Arifin ini, saat era modern seperti sekarang ini, kecanggihan teknologi serasa tak lebih hanya hiasan bagi orang-orang yang banyak uang dan bergelimang harta. Dan baginya hanya layaknya bintang yang bertaburan di angkasa, tak bisa ia gapai.

Satu hal yang ku suka, biarpun hidupnya malang tak berharta, dia bukan anak yang malang secara akal budi tata krama, dia pandai dan baik terhadap sesama, entah itu siapapun. Ibarat dia adalah intan permata ditengah bau dan kotornya kubangan lumpur. Berbudi meskipun gopoh dalam kerasnya menyambung hidup.

Salutlah aku dibuatnya, makan nasi beradu saja dengan garam, sambil tersenyum dia lahap menyantapnya, kuat dan tegar benar anak ini. Tak ada keluhan sedikitpun dari bibir kecilnya yang keluar. Sungguh, ini tamparan buat semua orang yang menyaksikan gambaran ini, kebahagian bukan tentu digapai dengan emas dan perak, dengan picis koin apalagi. Tapi dengan kelapangan hati dan rasa syukur yang menyerap kesetiap ruang di hati, tak terlewat seberapapun. Mereka yang terus serakah menimbun harta tak tentu pula dikecap bahagia macam Arifin ini, justru yang hidupnya selalu sibuk merenungkan harta, pastilah resah, dan takut akan susutnya harta. Hidup tak tenang tak pernah dirasa puas akan nafsu dunianya.

Berbahagialah Arifin ini, setiap hari berkumpul bersama sanak keluarga, makan seadanya sembari berbagi canda tawa, suka duka.

Meskipun kadang hari kulihat matanya berkaca, ketika ternampak didepannya anak-anak seusianya memakai baju seragam, bersekolah, jajan dan bermain lepas, sedang Arifin nampak kumuh dengan pakaian lusuh mengais sampah, pungut-dipungutnya apa yang bisa dibawanya ke pengepul rongsok ditukar dengan uang nantinya.

" Teman, bahagiakah bersekolah itu? " Arifin menyapa.
" Aku suka,  Tapiii... "
" Tapi? "
" Tapi uang saku aku sedikit, emak ku tak cupuk memberiku uang jajan "

Arifin terheran, tak habis fikir dengan perkata seorang anak sekolah yang ditemuinya itu.

" Tak apalah, aku saja berkeingin sangat, sekolah macam kamu, tapi tak kuasa "
" Kenapa begitu? "
" Aku cuma anak miskin, tak cukup harta untuk belajar, di tempat bersih seperti itu, untuk makan pun payah "
" Kasihan kamu "
" Tak apa, setiap sore aku juga bisa belajar, disekolah darurat di mushola dekat sini, kamu bersyukur saja, sudah untung-beruntung hidupmu tak kekurangan macam aku ini, semangatlah teman " senyumnya merekah, menutup peraduan mulut diantara mereka.


*******

Kampung kumuh,

" Fin, oey Arifin, sudah selesaikah engkau mandinya? "
" Sebentar Abah, tak lamalah lagi "
" Iya, nanti kau akan Abah antar ke mushola, sekalian ini, Abah ingin silaturahim ke rumah Haji Damanhuri "

Arifin yang tengah asyik mandi di sungai pun terkekeh, melihat Abahnya berteriak sambil mengorek hidung, mencari secuil upil. Memang di kampung Kebon Hulu ini, sungai lah tempat dimana warga biasa mandi dan mencuci, tak ada sumur ataupun kamar mandi, hanya ada bilik di pinggiran sungai, layaknya perahu yang sedang menepi. Tak jarang pula, saat mandi ada kotoran dan sampah yang hanyut lewat menyapa, namun itu sudah menjadi biasa baginya, yang penting bisa cukup untuk membersihkan badan dan mecuci pakaian, sabar dan sadar keadaan hidupnya.

Bersarung pakai kaos dan berkopyah hitam kemerahan, Arifin siap untuk ke mushola diantar abahnya.

" Abah, cuma silaturahmi ke Haji Damanhuri sebentar tak lama, nanti Abah tunggui kamu selesai belajar, dan pulangnya, kita nanti sama-sama "
" Iya bah, hehe "
" Hehe, anak abah, Arifin sudah besar rupanya "

Arifin tak tahu, dibalik senyum Abahnya, terdapat luka hati yang merana sebagai orang tua. Tak dapat melihat anaknya besekolah dengan sepatutnya anak-anak lain, adalah sebuah derita, malu pada diri sendiri, karena merasa tak bisa membahagiakan sang putera.

" Oh Arifin, maafkan Abahmu ini? " setengah berbisik.
" Apa bah, tak dengarlah apa Abah bilang tadi "
" Hehe, tak apa, ayolah nak! cepat sedikit, sudah telat juga kita ke Mushola "

Langkah gontai penuh harap mereka cepatkan ke Mushola, tempat satu-satunya Arifin dan banyak anak kurang mampu lainnya belajar merangkai huruf, berhitung dan mendalami agama dengan bimbingan Haji Damanhuri dan anaknya Khodijah.


*******




Komentar